
Alfred Burung
Lalu Ada Burung
Novel
Galang Press
Yogyakarta 2002
Paperback xx, 264 hlm. 11 x 18 cm
Judul Asli: Vogels rond een vrouw
Alih bahasa: Widjajanti Dharmowijono
Kata Pengantar: Widja Dharmowijono
Desain: Sugathi Adji Putranto
ISBN 979-9341-56-6
Kehabisan persediaan
Beberapa burung dan seorang perempuan berperan penting dalam kehidupan pemuda Indo-Belanda Alan Noland. Ayahnya bernama Arend, yang berarti Elang, dan begitulah ia dijuluki oleh istri dan anak-anaknya: Sang Elang. Ayah ini mengalami trauma berat waktu berperang sebagai marinir Belanda di Jawa-Timur.
Perempuan yang muncul dalam mimpi-mimpi Alan adalah neneknya, orang Tionghoa, ibu Sang Elang. Seiring perkembangan Alan menuju usia dewasa, dalam bayangannya neneknya berubah dari penyihir menjadi sosok ibu idaman. Alan pergi ke Indonesia, negara yang hanya dikenalnya dari cerita-cerita ayahnya, dan berusaha mengumpulkan informasi mengenai neneknya, sekaligus mencari jejak yang ditinggalkan ayahnya. Ataukah ia mencari dirinya?
Pada akhir perjalanannya, Alan Noland menyadari bahwa ia tidak hanya mewarisi pusaka berupa jambangan Cina dari ayahnya, tapi juga perasaan terjebak antara kedua negeri orang tuanya.
Novel ini adalah novel ketiga karangan Alfred Birney, penulis Indo generasi kedua yang paling terkemuka.
Untuk pembaca Indonesia, Lalu Ada Burung memperingatkan kita, betapa pentingnya menggali akar.
Jacob Sumardjo. – Pikiran Rakyat
Inilah kekuatan Lalu Ada Burung. Seperti sebuah cerita suspense yang menggiring pembaca untuk mengetahui kelanjutan kisahnya dari bagian satu ke bagian berikutnya. – Koran Tempo
Jakob Sumardjo – Menukik Batin Indo
Novel ini tidak dapat dibaca dalam sekali telan. Novel menuntut dikunyah baca, baru bisa ditelan. Ini disebabkan oleh gaya bercerita pengarangnya yang liris dari pada naratif-kronologis, lebih puitik dari pada prosais. Cerita diungkapkan secara prismatic dalam jalinan masa lampau, sekarang dan mendatang. Semuanya terpusat pada roh seorang perempuan Cina yang melahirkan anak Indo. Meskipun novel Alfred Birney ini, Lalu Ada Burung (Galang Press, 2002) hasil terjemahan Widjajanti Dharmowijono dari bahasa Belanda yang berjudul Vogels rond een vrouw (1991, 2002), hanya setebal 263 halaman format buku saku, tetapi mengandung persoalan kemanusiaan besar, yakni keindoan, mestizo, darah campuran antar ras. Ada suatu keterombangambingan psikologis, ketidakjelasan tempat berpijak budaya, manusia burung antara langit dan bumi. Mengapa manusia harus hidup dalam ruang dan waktu kolektif?
Kisahnya tentang pemuda Indonesia 27 tahun, Alan Noland, yang dihantui sejak kecil oleh benda-benda seni Timur (Indonesia), kelakuan ayahnya yang paranoid, dan pengalaman-pengalaman yang supernatural. Alan Noland adalah anak Arend Noland (Si Burung Elang), seorang Indo hasil perkawinan David Nolan dengan Sie Swan Nio. David sendiri juga Indo, hasil perkawinan lelaki Inggris, Alan O’ Nolan dengan Rabina, gadis Madura. Dengan demikian, dalam darah Alan tercampur darah Irlandia, Madura dan Cina. Alan dan saudara kembarnya, Philip, sejak kecil hidup dalam suasana keluarga yang menakutkan, mengancam, penuh hal-hal magis dunia Hindia-Belanda. ltu semua akibat ulah ayahnya yang bekas tentara marinir Belanda, pernah tinggal di Surabaya, dan pada tahun 1950 memilih meninggalkan Indonesia dan semua saudaranya-saudara serta ibunya, akibat pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda. Si Elang merupakan satu-satunya anggota keluarga Indo itu yang meninggalkan Indonesia dan hidup di negeri Belanda. Tinggalnya di Belanda sebenarnya dimaksudkan sebagai semacam transit untuk dapat pindah sebagai imigran di California.
Dari perilaku ayahnya, Alan menyimpulkan bahwa akar dari semua ini adalah neneknya yang berdarah Cina Kanton itu. Perempuan tua inilah yang mengendalikan pikiran-pikiran Si Elang, dari jauh, lewat foto-foto, lukisan dan jambangan warisan, dan surat-surat berbahasa Melayu yang dikirimkan oleh saudara-saudaranya yang masih tinggal Jawa Timur. Akibat perilaku ayahnya yang sering kumat halusinasinya tentang perlawanannya terhadap Jepang dan aksi polisionil, ibunya, Anneke, minta cerai. Si Elang menikah lagi dua kali dan berakhir dengan perceraian juga.
Hidup Alan selalu dibayangi oleh sisi darah campurannya yang penuh misteri dari Timur ini. Hal ini meruncing ketika masyarakat Belanda sendiri mempersoalkan kehadiran golongan Indo dan orang-orang Maluku yang sering membuat ulah akibat janji pemerintah Belanda kepada mereka, yakni mengembalikan mereka ke Maluku, tidak dipenuhi. Golongan Indo bukan golongan putih Belanda, dan sangat asing karena bawaan sifat ketimuran mereka. Indo kurang disukai, dan disamakan begitu saja dengan kelompok ekspatriat Maluku, oleh “orang-orang dungu sentimentil penuh dendam yang belum pernah membaca buku sejarah”.
Di tengah kemelut ini, Alan mengalami peristiwa supranatural, yakni dikunjungi neneknya yang Cina dalam keadaan setengah terjaga, dan dibelainya. Ayahnya meyakinkan, bahwa peristiwa itu menunjukkan kasih sayang neneknya pada Alan. Untuk itulah ia memutuskan pergi ziarah ke Jawa, kepada kaum keluarga ayahnya dan makam neneknya di Ungaran. Perjalanan ke Jawa ini merubah pandangan Alan tentang asal-usul keindoannya. Ia tidak menyalahkan neneknya lagi, justru semakin jauh dari ayahnya.
Selalu ada trio, yakni tiga jambangan, tiga darah (Irlandia, Cina, Indo), tiga generasi (nenek, ayah, anak), tiga kenangan yang menghantui (lukisan, jambangan, foto-foto tua), tiga golongan sosial (Belanda, Indo, Maluku). Asal tiga serangkai ini adalah duo yang dualistik, bertentangan, yakni Belanda (penjajah ) dan Indonesia (terjajah), dua golongan Indo (yang damai dengan sifat Timurnya, dan yang gelisah oleh keindoannya), dua sikap Indo (yang lembut sebagai Yin dan yang keras sebagai Yang), dua tempat tinggal kaum Indo (di Belanda dan di Indonesia). Bertemunya dua hal yang oposisioner ini melahirkan hal yang ketiga, yakni campuran dan dua hal yang konflik tadi. Lelaki Belanda bertemu perempuan Indonesia atau Cina peranakan, sebagai yang berkuasa dan yang dikuasai (zaman kolonial). Dua golongan ras yang konflik disatukan dalain pertemuan kelamin yang alamiah. Hasilnya adalah kaum Indo yang tidak diakui diatas kertas sebagai golongan si ayah (perkawinan dalam status nyai ), tetapi juga dicurigai secara empirik oleh golongan pribumi. Inilah inti persoalannya. Perkawinan campuran dalam status nyai, menunjukan sikap superior penjajah. Hasil perkawinan seperti itu dengan sendirinya didudukkan dalam status inferior oleh masyarakat Belanda sendiri.
Alan Noland adalah tiga perempat Belanda dan dibesarkan dalam pola pikir Belanda. Namun perilaku ayahnya membuat bagian yang seperempat itu menghantuinya. Mengapa ayahnya paranoid? Karena ia berjuang di Indonesia atas nama Wilhelmina, tetapi ditolak oleh yang dibelanya. Inilah sebabnya ia memilih tinggal di Belanda. Perlakuan yang menyakitkan di negeri dan masyarakat yang dibelanya ini, menyebabkan ia mencari kambing hitam. Dan itulah kaum republik di Indonesia yang membuat dia harus hijrah ke Belanda. Namun bagian yang dibencinya itu adalah darah ibunya dan saudara-saudaranya. Konflik batin ini membuatnya paranoid. Di satu sisi ia tidak menyukai Indonesia, tetapi di sisi lain ia amat mencintai bagian yang tidak disukainya itu, yakni nenek moyangnya.
Berbalikan dengan ayahnya, Alan Noland justru berusaha memahami bagian seperempatnya akibat ditolak oleh yang tiga perempat dalam darahnya. Ia menyaksikan bahwa paranoid menghinggapi kaum Indo yang ada di Belanda, sedang di Indonesia mereka baik-baik dan normal saja. Perjalanan ziarah Alan menghasilkan penutup novel yang herbunyi: “Ia akan mengunjungi ayahnya lagi. Sudah lama ia tak bertemu. Tapi meskipun sesungguhnya ia bergerak makin dekat kepadanya, perasaannya adalah bahwa ia justru perlahan-lahan makin menjauhinya”. Alan memilih segi rohaninya dari pada segi jasmaninya. Ayahnya adalah sebuah kekeliruan. la termasuk kaum Yang yang keras dan kaku. Alan lebih cenderung pada sisi Yin yang perempuan dan lembut.
Pada saya, novel ini menunjukkan betapa manusia tumbuh dalam lokalitas. Dan lokalitas itu merupakan kesatuan ruang dan waktu. Ruangnya Indonesia dan waktunya adalah sejarah, genealogi, akar. Segi waktu ini rupanya lebih penting. Manusia tumbuh dari akar-akar budaya yang menyejarah. Akar waktu Alan, genealoginya, ada di tiga lokalitas yakni Barat, Indonesia (Madura) dan Cina. Meskipun sebenarnya ia telah berakar Barat (besar di Belanda dan dilahirkan di situ), tetapi akar-akar yang lain menghantuinya, terutama datah Cinanya. “Buat apa saya ke sana (Indonesia, pen). Negeri itu sama sekali tak menarik bagiku”, kata Alan. Ini berarti keterputusannya dengan darah Madura yang berasal dan nenek buyutnya. Akar hantu itu tinggal satu, yakni kecinaannya (nenek). Mungkinkah ia akan menggali akar Cinanya?
Untuk pembaca Indonesia, novel ini memperingatkan kita, betapa pentingnya menggali akar. Akar itu tetap tumbuh dalam diri kita. Dan kita tidak menyadarinya. Bahkan kita kadang berusaha untuk menolak dan membuangnya. Kita tetap hidup normal (tidak paranoid) di Indonesia ini justru karena kita secara tak disadari terus menyertakan akar itu. Mengenali akar adalah mengenali ruang dan waktu pertumbuhan kita. “Ya, akhirnya sifat asli selalu muncul, ha, ha!” kata Zus Maudi dalam novel ini.
Kisah kaum Indo yang terjebak antara dua dunia, dua akar, akhirnya harus memutuskan meneruskan akar yang mana, Belanda atau Indonesia. Dunia tengah itu dunia yang berbahaya. Dunia cicak, antara lantai dan atap. Tapi mengapa kaum Indo di Indonesia tidak mengalami paranoid, sedang di Belanda mengalaminya? Inilah perbedaan filosofis Barat dan Indonesia (Timur). Dasar budaya Barat adalah dualisme-konflik yang harus diakhiri dengan salah satu menjadi pemenang, penguasa, superior. Di Indonesia dualisme-konflik harus diakhiri dengan “dunia tengah”, yakni entitas campuran dari dua oposisi biner tersebut. Kaum Indo adalah perwujudan dunia tengah yang diidealkan. Mereka diterima di sini.
Dimuat di Pikiran Rakyat, Bandung, 17 Oktober 2002, hal. 23